Rabu, 01 Agustus 2012

Jendral Hoegeng Imam santoso



Kutipan jenderal HOEGENG....
Teladang Hoegeng
Penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor ini dikenal bersi dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kesederhanaan, kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya dimanapun.
Saat pertama menjabat Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja. Waktu itu, saat Hoegeng sekeluarga pindah ke Medan, rumah dinas yang akan mereka tempati telah berisi barang - barang luks (disinyalir) pemberian pengusaha setempat. Setelah barang tersebut dikembalikan, barulah Hoegeng mau menempati rumah dinasnya.
masa tua pak Hoegeng
masa masih dinas menjadi Intel
Kisah kejujuran Hoegeng lainnya dikisahkan oleh Aditya (putra kedua Hoegeng), ketika sebuah perusahaan motor merek Lambretta mengirimkan dua buah motor untuk setiap pejabat. Sang ayah segera meminta ajudannya untuk mengembalikan motor pemberian itu.
Kejujuran Hoegeng tak terbantahkan lagi, saking jujurnya Hoegen baru memiliki rumah setelah memasuki masa pensiun. Berkat kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng, Jakarta Pusat menjadi milik keluarga Hoegeng.
Hoegeng juga terkenal akan kegigihannya dalam mejalankan tugas. Hoegeng tak segan untuk menyamar dalam beberapa penyelidikan. Kasus besar yang pernah ditangani antara lain; kasus Sum Kuning (pemerkosaan Sum tukang jamu gendong) yang melibatkan anak pejabat dan kasus penyelundupan mobil yang dilakukan oleh Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan keluarga Cendana.
Kasus inilah yang kemudian santer disebut sebagai penyebab pencopotan Hoegen oleh Soeharto secara mendadak. Hoegeng dipensiunkan pada usia 49 tahun, di saat sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Hoegeng sempat ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah negara eropa, namun ditolak dengan alasan karena ia seorang polisi bukan politisi.
Saat itu, dikisahkan oleh Merry Roelani (istri Hoegeng), Hoengen menemui ibunya untuk mengabarkan pencopotannya. Ibunda Hoegeng pun berpesan "selesaikan tugas dengan kejujuran, karena kita masih bisa makan nasi dengan garam." Kata-kata itulah yang semakin menguatkan Merry untuk selalu mendukung Hoegeng.

Setelah pensiun, Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaian dan melukis. Lukisan tersebut yang kemudian menjadi sumber penghasilan Hoegeng. Sebagai pensiunan, Hoegeng hanya menerima Rp. 10.000, itupun dipotong Rp 2.500. Sehingga hanya diterima sebesar Rp. 7.500. Pada tahun 2001, tunjangan pensiun Jenderal Hoegeng dinaikan menjadi Rp 1.170.000.
Selain melukis, Hoegeng sempat mengisi acara di Radio Elshinta, namun tidak beberapa lama acaranya ditutup karena dianggap terlalu pedas. Hoegeng sempat pula mengisi acara Gema Irama Lautan Teduh di TVRI selama 10 tahun dengan nama "Hawaiian Senior". Acara ini pun kembali "dibredel" oleh pemerintah dengan alasan tidak mencerminkan budaya nasional.
Hoegeng sempat tergabung dalam kelompok lima puluh warga negara RI yang mendatangani "Pernyataan Keprihatinan" terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian dikenal sebagai "Petisi 50".
Teladan Hoegeng diperoleh dari sang ayah. Ayahnya, Sukarjo Karjohatmojo adalah seorang hoofd Jaksa, yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Sang Ayah mendirikan rumah untuk orang miskin dan orang telantar. Hoegeng kecil pun sering diajak ke rumah penampungan tersebut. Saat itu sang ayah membisikkan kepada Hoegeng kecil; "kelak, bila kau menjadi orang berpangkat dan berkuasa, ingatlah: kekuatan itu laksana pedang bermata dua."
Pesan dan keteladanan sang ayah inilah yang kemudian melekat kuat dalam kepribadian Hoegeng.
Sungguh sosok yang kejujurannya sulit ditemukan di masa kini. Bahkan saat ajal menjemput, Hoegeng memilih untuk dimakamkan di TPU Gintama, Bojong Gede, Bogor, bukan di Taman Makam Pahlawan. Hoegen meninggal dunia di RS Cipto Mangunkusomo, Jakarta pada 14 Juli 2004 pukul 00.30 WIB akibat stroke, penyumbatan pembuluh darah dan pendarahan lambung.
Beliau pun menjadi simbol keteladanan dan kejujuran Polri.

0 komentar:

Posting Komentar