07.07 -
3 comments
Sedikit tentang Ngawi
Membaca Ngawi
Ngawi, sebuah kabupaten di ujung propinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan propinsi Jawa Tengah. Konon, nama Ngawi berasal dari kata “awi” atau bambu yang kemudian mendapat imbuhan “ng” menjadi Ngawi. Menurut catatan yang menjadi dasar kelahiran kabupaten ini dari penelitian benda-benda kuno, menunjukkan bahwa di Ngawi telah berlangsung suatu aktifitas keagamaan sejak pemerintahan Airlangga dan rupanya masih tetap bertahan hingga masa akhir Pemerintahan Raja Majapahit.
Ngawi, sebuah kabupaten di ujung propinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan propinsi Jawa Tengah. Konon, nama Ngawi berasal dari kata “awi” atau bambu yang kemudian mendapat imbuhan “ng” menjadi Ngawi. Menurut catatan yang menjadi dasar kelahiran kabupaten ini dari penelitian benda-benda kuno, menunjukkan bahwa di Ngawi telah berlangsung suatu aktifitas keagamaan sejak pemerintahan Airlangga dan rupanya masih tetap bertahan hingga masa akhir Pemerintahan Raja Majapahit.
Fragmen dan model percandian menunjukkan sifat
ke”Siwa”an yang erat hubungannya dengan pemujaan di dan untuk Gunung Lawu,
Girindra. Pergeseran mulai terjadi dengan masuknya pengaruh Islam dan budaya
Eropa, khususnya Belanda, yang sampai saat ini masih bisa ditemukan
kuburan-kuburan Belanda yang menyatu dengan rumah penduduk, khususnya di desa
Walikukun. Terlepas dari semua itu, Ngawi memiliki peranan cukup penting
terkait posisi geostrategis yang dimilikinya.
Berdasarkan peninggalan benda-benda kuno dan rekaman sejarah dapat dicatat beberapa hal yang pada perjalananya nanti akan menjadi modal narasi selanjutnya perihal perkembangan agama yang terjadi di hampir seluruh desa di Ngawi. Ngawi sebagai Daerah Swatantra dan Naditira pradesa, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk (Majapahit) tepatnya tanggal 7 Juli 1358, (tersebut dalam Prasati Canggu yang berangka Tahun Saka 1280). Sebagai Daerah Narawita Sultan Yogyakarta dengan Palungguh Bupati – Wedono Monconegoro Wetan, tepatnya tanggal 10 Nopember 1828 M (tersebut dalam surat Piagam Sultan Hamengkubuwono V tertanggal 2 Jumadil awal 1756 AJ). Ngawi sebagai Onder-Regentschap yang dikepalai oleh Onder Regent (Bupati Anom) Raden Ngabehi Sumodigdo, tepatnya tertanggal 31 Agustus 1830.
Berdasarkan peninggalan benda-benda kuno dan rekaman sejarah dapat dicatat beberapa hal yang pada perjalananya nanti akan menjadi modal narasi selanjutnya perihal perkembangan agama yang terjadi di hampir seluruh desa di Ngawi. Ngawi sebagai Daerah Swatantra dan Naditira pradesa, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk (Majapahit) tepatnya tanggal 7 Juli 1358, (tersebut dalam Prasati Canggu yang berangka Tahun Saka 1280). Sebagai Daerah Narawita Sultan Yogyakarta dengan Palungguh Bupati – Wedono Monconegoro Wetan, tepatnya tanggal 10 Nopember 1828 M (tersebut dalam surat Piagam Sultan Hamengkubuwono V tertanggal 2 Jumadil awal 1756 AJ). Ngawi sebagai Onder-Regentschap yang dikepalai oleh Onder Regent (Bupati Anom) Raden Ngabehi Sumodigdo, tepatnya tertanggal 31 Agustus 1830.
Nama Van Den Bosch berkaitan dengan nama ”Benteng
Van Den Bosch Di Ngawi, yang dibangun pada Tahun 1839 – 1845 untuk menghadapi
kelanjutan Perjuangan Perlawanan dan serangan rakyat terhadap penjajah,
diantaranya di Ngawi yang dipimpin oleh Wirotani, salah satu pengikut Pangeran
Diponegoro. Hal ini dapat diketahui dari buku ”De Java Oorlog” karangan Pjf.
Louw Jilid I Tahun 1894 dengan sebutan (menurut sebutan dari penjajah) :
”Tentang Pemberontakan Wirotani di Ngawi.”
Prasati Canggu yang merupakan sumber data tertua, digunakan sebagai penetapan hari jadi Ngawi, yaitu pada tahun 1280 Saka atau pada tanggal 8 hari Sabtu Legi Bulan Rajab Tahun 1280 Saka, tepatnya pada tanggal 7 Juli 1358 Masehi (berdasarkan perhitungan menurut Lc. Damais) dengan status Ngawi sebagai Daerah Swatantra dan Naditira Pradesa. (http://www.kotangawi.com/).
Masuknya budaya Eropa dengan ajaran agama besar yang dibawa tidak begitu saja menghapus agama yang erat kaitannya dengan magi di Ngawi. Salah satu yang bisa dilihat tentang perjalan magi di Ngawi adalah di desa Walikukun, Widodaren.
Prasati Canggu yang merupakan sumber data tertua, digunakan sebagai penetapan hari jadi Ngawi, yaitu pada tahun 1280 Saka atau pada tanggal 8 hari Sabtu Legi Bulan Rajab Tahun 1280 Saka, tepatnya pada tanggal 7 Juli 1358 Masehi (berdasarkan perhitungan menurut Lc. Damais) dengan status Ngawi sebagai Daerah Swatantra dan Naditira Pradesa. (http://www.kotangawi.com/).
Masuknya budaya Eropa dengan ajaran agama besar yang dibawa tidak begitu saja menghapus agama yang erat kaitannya dengan magi di Ngawi. Salah satu yang bisa dilihat tentang perjalan magi di Ngawi adalah di desa Walikukun, Widodaren.
Perihal nama Walikukun sendiri sebenarnya
menimbulkan spekulasi tersendiri bagi masyarakat setempat. Sebagian orang
mengatakan bahwa Walikukun berasal dari sebuah nama pohon yang bentuknya mirip
dengan pohon jati. Kedua adalah, keyakinan bahwa di sekitar abad 14 atau 15 ada
seorang wali yang melalui dan tinggal sejenak di daerah Kukun. Sampai kemudian
daerah ini disebut Walikukun.
Caos Dhahar pada Mbok Rondo Ireng
Mudahnya penerimaan masyarakat Jawa pada Hinduisme
dan Buddhisme yang mungkin saja karena memiliki banyak kesamaan dengan
spiritualisme kuno Jawa Pra-Hindu. Melihat konsepsi dasar Jawa mengenai dunia
gaib yang didasarkan pada ide bahwa segala yang nampak dalam kehidupan disebabkan
oleh makhluk berfikir dan berkepribadian dimana mereka memiliki kehendak dan
tujuan
Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut hyang atau yang yang berarti tuhan. Tak mengherankan kemudian ada kata sembahyang dan danyang. Tentu saja, perihal danyang masih banyak diyakini oleh masyarakat Jawa, dimana mereka menganggap bahwa setiap desa memiliki roh penjaga sendiri yang biasanya tinggal di pohon-pohon rindang, beringin misalnya.
Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut hyang atau yang yang berarti tuhan. Tak mengherankan kemudian ada kata sembahyang dan danyang. Tentu saja, perihal danyang masih banyak diyakini oleh masyarakat Jawa, dimana mereka menganggap bahwa setiap desa memiliki roh penjaga sendiri yang biasanya tinggal di pohon-pohon rindang, beringin misalnya.
Masyarakat setempat membayangkan dan berpikir bahwa
roh-roh itu berasal dari orang-orang suci atau penguasa di masa lalu yang
mendatangi desa mereka jauh sebelum mereka sendiri lahir di desa tersebut.
Karenanya tradisi ngalap berkah atau meminta berkah perlindungan dan
keselamatan atas seluruh hajat dan niat yang hendak diselenggarakan dari
danyang-danyang yang dianggap menjadi penjaga desa setempat.
***Perihal Keduanya
Mbok Rondo Ireng, menurut cerita yang berkembang adalah istri seorang raja kecil yang melarikan diri karena hendak diperistri patih Galigajaya, saat suaminya bertugas keluar daerah. Dia memiliki tiga orang anak yang ikut serta dalam pelarian, yaitu: Kencana Wulan, Hariyanti, dan Gandana.
Kencana Wulan pada akhirnya mati karena perahunya terguling, sampai sekarang perahunya masih ada di bawah sebuah jembatan di desa Walikukun yang saat itu hendak melarikan diri karena patih Galigajaya berhasil menemukan dia yang sudah menikah dengan pak Kunti. Daerah itu saat ini disebut Kedung Perahu. Hariyanti yang masih gadis sudah mati terlebih dulu dengan menceburkan diri ke sungai yang saat ini dikenal dengan nama Kedung Perawan.
Mbok Rondo Ireng, menurut cerita yang berkembang adalah istri seorang raja kecil yang melarikan diri karena hendak diperistri patih Galigajaya, saat suaminya bertugas keluar daerah. Dia memiliki tiga orang anak yang ikut serta dalam pelarian, yaitu: Kencana Wulan, Hariyanti, dan Gandana.
Kencana Wulan pada akhirnya mati karena perahunya terguling, sampai sekarang perahunya masih ada di bawah sebuah jembatan di desa Walikukun yang saat itu hendak melarikan diri karena patih Galigajaya berhasil menemukan dia yang sudah menikah dengan pak Kunti. Daerah itu saat ini disebut Kedung Perahu. Hariyanti yang masih gadis sudah mati terlebih dulu dengan menceburkan diri ke sungai yang saat ini dikenal dengan nama Kedung Perawan.
Patih Galigajaya pada akhirnya menguburkan jenasah
Kencana Wulan di tempat yang tidak jauh dengan kuburan ibunya, Mbok Rondo
Ireng. Karena dia memiliki penyakit kuning, karenanya Kencana Wulan dikenal
dengan nama Mbok Rondo Kuning.
Sebagian masyakarat ada yang mengatakan bahwa Mbok
Rondo Ireng masih berkerabat dekat Aryo Bangsal, anak raja Majapahit atau lebih
dikenal dengan Joko Gudik, karena memiliki banyak gudik, di tubuhnya. Aryo
Bangsal ini adalah calon menantu Ratu Puan yang kerajaannya ada di gunung
Lir-Liran, salah satu anak gunung Lawu, yang sampai saat ini, reruntuhan
kerajaannya masih dapat ditemukan di gunung Lir-Liran.
Simbol-simbol dari kepercayaan bahwa Mbok Rondo
Ireng adalah penjaga desa Walikukun ini nampak dari representasi perayaan dan
situs-situs yang masih terjaga. Seperti pagar suatu tempat yang diyakini
sebagai tumbuhnya pisang emas pupus cinde. Arca Mbok Rondo Kuning dan Mbok
Rondo Ireng. Karena dianggap daerah yang banyak didatangi oleh putri dan ratu
yang cantik inilah, Walikukun juga dikenal dengan nama Widodaren dari kata
widodadri, bidadari.. Dalam kepercayaan Hinduisme selain percaya kepada dewa,
masyarakat Jawa juga percaya pada dewa dan kepada widadari (bidadari) yang
berasal dari Hinduisme. Sangat mungkin ini juga terkait dengan hal ini.
Meskipun saat ini, tepatnya sejak tahun 2007, Widodaren menjadi nama kecamatan
dan Walikukun menjadi salah satu desa di dalamnya
Rumah Mbok Rondo Ireng adalah sebuah rumah yang dinding-dindingnya
berasal dari gedek (anyaman bambu) yang apabila hancur oleh usia akan
diperbarui dengan gedek yang lain. Dari dalam rumah itu tumbuh pohon beringin
menembus atap rumah yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya sang Mbok.
Selain pohon beringin tersebut, di dala rumah juga ada arca si Mbok yang entah
berasal dari tahun berapa.
Kalau melihat rekam sejarah, dimana Ngawi dianggap
sebagai daerah Swatantra dan Naditira pradesa, pada jaman pemerintahan raja
Hayam Wuruk (Majapahit) tepatnya tanggal 7 Juli 1358 Masehi, (tersebut dalam
Prasati Canggu yang berangka Tahun Saka 1280). Tradisi yang berjalan setelahnya
nampak sangat dipengaruhi oleh Hindu Siwa.
Pernah diceritakan seorang tentara yang berperang melawan Belanda suatu hari menebas arca Mbok Rondo Kuning sampai kepalanya lepas, dua hari setelah itu sang tentara meninggal tertembak di lehernya tak jauh dari keberadaan rumah si Mbok Rondo Kuning. Saat ini nama tentara tersebut dijadikan nama jalan di seberang rumah Mbok Rondo Kuning, jalan Sukatminaris.
Pernah diceritakan seorang tentara yang berperang melawan Belanda suatu hari menebas arca Mbok Rondo Kuning sampai kepalanya lepas, dua hari setelah itu sang tentara meninggal tertembak di lehernya tak jauh dari keberadaan rumah si Mbok Rondo Kuning. Saat ini nama tentara tersebut dijadikan nama jalan di seberang rumah Mbok Rondo Kuning, jalan Sukatminaris.
***Membaca Ngalap Berkah
Sampai saat ini, di rumah Mbok Rondo Ireng selalu diadakan perayaan atau ngalap berkah. Perayaan ini diadakah setiap tanggal 1 di bulan Sura. Mereka yakin, dengan menyediakan buceng kambing (normalnya ayam) akan membuat hati si Mbok merasa senang dan tetap menjaga serta melindungi desa dari seluruh bencana.
Sampai saat ini, di rumah Mbok Rondo Ireng selalu diadakan perayaan atau ngalap berkah. Perayaan ini diadakah setiap tanggal 1 di bulan Sura. Mereka yakin, dengan menyediakan buceng kambing (normalnya ayam) akan membuat hati si Mbok merasa senang dan tetap menjaga serta melindungi desa dari seluruh bencana.
Dalam perayaan itu, akan digelar wayang tengul.
Perayaan dimulai pagi hari dan selesai sore hari. Dipimpin oleh seorang dukun
perempuan yang berdandan dengan menggunakan kebaya lengkap dengan sanggulnya.
Dukun ini adalah juru kunci dari rumah Mbok Rondo Ireng. Apabila dia meninggal,
salah seorang anak perempuannya akan menggantikannya sebagai juru kunci dan
sekaligus menjadi pemimpin setiap ritual yang dilaksanakan di pepunden
tersebut.
Segala sesaji disiapkan dengan cara yang terlampau
hati-hati. Dari segala jenis kembang, makanan dan alat-alat lain. Meskipun
menurut cerita, Mbok Rondo Ireng tidak lebih galak dibandingkan anaknya, Mbok
Rondo Kuning, akan tetapi rasa hormat membuat mereka lebih banyak terdiam saat
acara berlangsung.
Sepulang dari ngalap berkah, orang-orang akan
merasa tenang karena telah menunaikan satu perayaan untuk menyenangkan hati
Mbok Rondo Ireng. Menjamasi setiap pusaka milik mereka dan merencanakan niat-niat
dan hajat di setahun ke depan.
Meskipun ngalap berkah sudah diadakan setiap
tahunnya, masyarakat di Walikukun musti selalu caos dhahar (memberi makan) ke
rumah Mbok Rondo Ireng dan Mbok Rondo Kuning saat mereka memiliki hajat.
Seperti menikahkan seorang anak, khitan dan hajat-hajat lain. Karenanya di
tahun-tahun terakhir masih ada ditemukan anak-anak sekolah yang mengantarkan
sesaji ke rumah Mbok Rondo Kuning dan Mbok Rondo Ireng sebelum ujian nasional
diadakan.
Rasa tentram yang mereka dapatkan membuat diri
merasa yakin dan percaya akan dimudahkan dalam melaksanakan hajat dan
kemauannya. Semangat dan rasa percaya diri membuat orang menjadi lebih santai
dalam menghadapi sesuatu karena merasa ada “the other” yang menemaninya untuk
menjadi pemenang.
Ngalap berkah dan simbol-simbol serta sarana yang
mengiringinya memberikan gambaran tentang cara pemaduan antara kepercayaan
masyarakat di Walikukun yang animis dan Hindu Siwa yang membentuk konsepsi
pokok sebuah desa. Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa
apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak
memperoleh berkah dan perlindungan, maka perayaan harus diadakan.
Sebagin orang bisa saja berpikir di sinilah peran
Islam masuk dalam ambivalensi masyarakat memandang Mbok Rondo Ireng dan Mbok
Rondo Kuning. Peng”jin”an sang Mbok pada sesuatu yang bisa menjadi antagonis.
Bagaimana mungkin seorang pelindung desa bisa menjadi perusak dan pendatang
bencana? Sebab jin baik akan selalu baik dan jin jahat akan selalu jahat. Tidak
bisa jin yang sama melakukan dua hal yang bertolak belakang. Saya cenderung
mengira bahwa ini justru internalisasi dari Hindu Siwa pada masyarakat di
Walikukun.
Siwa adalah dewa cinta kasih, dia adalah dewa yang
selalu nampak sebagai dewa yang memancarkan kaih sayang bagi manusia yang hidup
di jalan yang penuh amalan dan kasih pada sesama. Sebaliknya, bagi manusia yang
hidupnya dipenuhi dengan dosa dan mengganggu manusia lain, dewa Siwa akan
nampak menyeramkan dan selalu siap menghancurkan apapun yang ada di hadapannya.
Dalam diri Dewa Siwa terdapat sakti dari Dewi Uma yang cantik dan lemah lembut,
serta Dewi Durgha yang merupakan dewi kematian dengan muka yang menyeramkan.
Untuk itulah demi menjaga kasih sayang sang Mbok
terhadap desa, masyarakat musti menjaga perilaku mereka dalam bermasyarakat.
Membantu yang kekurangan, menolong yang membutuhkan dan membagi rezeki yang ada
untuk sesama.
Kenduri dan mempercayakan banyak hal pada dukun
atau juri kunci merupakan cara untuk berhubungan langsung dengan si Mbok. Akan
tetapi merayu si Mbok agar tetap menjaga desa dan khususnya subyek personal
adalah dengan melalui selametan dan caos dhahar.
Bagi sang dukun sendiri, yang mana juga seorang
juru kunci di rumah Mbok Rondo Ireng memiliki keyakinan, bahwa untuk mencapai
suatu kemenangan atas sebuah kebahagian dari penjagaan sang Mbok, musti tirakat
dan penuh pemgorbanan.
Ia harus berpuasa selama sejumlah hari tertentu,
dan berpantangan memakan beberapa jenis makanan. Seperti misalnya pisang raja
dan lain sebagainya. Maka cara pengrobanan yang lain adalah dengan bertapa.
Khususnya saat akan memimpin upacara besar setiap bulan Sura.
***Mbok Rondo Kuning
Masyarakat di Walikukun di tahun-tahun lalu, sebelum dakwah-dakwah Islam masuk dengan kuat begitu percaya kepada kemampuan dukun, meski sampai saat ini masih banyak juga yang mempercayainya.
Masyarakat di Walikukun di tahun-tahun lalu, sebelum dakwah-dakwah Islam masuk dengan kuat begitu percaya kepada kemampuan dukun, meski sampai saat ini masih banyak juga yang mempercayainya.
Perkataan dukun sering menjadi panduan untuk mereka
menghentikan atau melanjutkan hajat yang ingin diadakan. Ada sebuah kisah
seorang, belum ada setahun perkawinan, sang perempuan kehilangan suaminya
karena kecelakaan. Kisah itu berulang sampai empat kali perkawinananya. Sampai
pada akhirnya sang dukun, juru kunci rumah Mbok Rondo Ireng menyucikan dia
dengan mantra dan sesaji, berhasilah si perempuan memiliki seorang suami sampai
saat ini.
Di Walikukun terdapat satu group ketoprak yang
setiap akhir Minggu mementaskan sebuah cerita di gedung pertunjukkan sebelum
dihancurkan. Kelompok ini selalu menampilkan banyak kisah, tapi tidak
menampilkan cerita tentang Mbok Rondo Kuning di sekitar Walikukun. Menurut
cerita yang berkembang, selalu selepas mementaskan cerita Mbok Rondo Kuning
yang penuh derita itu, salah seorang pemainnya meninggal hanya dalam hitungan
hari saja. Karenanya gedung pertunjukan tidak digunakan lagi, selain semakin
jauhnya masyarakat dengan tradisi ketoprak terkait juga masalah 1965 yang
melanda hampir seluruh daerah di Ngawi.
Sampai saat ini, sesaji untuk mereka yang hendak
menikahkah anaknya masih terus dilakukan, terlepas keluarga tersebut menganut
agama Kristen, Katolik, maupun Islam. Sebab kalau tidak, saat acara dilakukan
bisa jadi datang rintangan, atau bahkan saat kelak sang pengantin menjalani
rumah tangga mereka.
Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional ialah
slametan, dimana di dalamnya hampir selalu ada kenduri. Yang dalam kajian
Geerzt dianggap sebagai hal yang paling umum di lakukan oleh para abangan.
Melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam
slametan tersebut.
Slametan dan simbol-simbol inilah memberikan
gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang
animis dan Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok
masyarakat pedesaan.
Kenyataan yang menarik, slametan yang dilakukan
oleh orang Jawa bukanlah cara atau ritual untuk minta kesenangan atau tambahan
harta kekayaa, akan tetapi bertujuan untuk mendapatkan keselamatan dari sakit
dan duka. Slametan semacam ini bagi para abangan melambangkan keharusan kerja
sama dan ikatan sosial.
Clifford Geertz dalam The Religion of Java meyakini
bahwa perkembangan ajaran Islam di Indonesia diwarnai oleh ajaran Hindu, Budha,
dan bahkan animisme, sebagai ajaran-ajaran yang telah lama berkembang di
Indonesia sebelum Islam. Sehingga terlihat praktik mistik Budha yang diberi
nama Arab, raja Hindu berubah namanya menjadi Sultan, sedangkan rakyat
kebanyakan masih mempraktikkan ajaran animisme.
Sebab yang mampu menyerap ajaran Islam asli
hanyalah sekelompok kecil yakni kalangan santri. Sedang sebagian besar rakyat Indonesia
masih dapat dikatakan belum mempraktikkan ajaran Islam sepenuhnya. Bukankah
proses sinkretisasi yang paling kental adalah terjadi di Jawa oleh karena
sebagian besar masyarakatnya memiliki prinsip bahwa semua agama adalah sama.
Walikukun hanyalah sebuah daerah kecil yang hampir
tidak berbeda dengan daerah lain yang masih memiliki dna menjaga aliran-aliran
yang lebih menonjolkan aspek-aspek animisme-dinamisme. Pada dasarnya gerakan
mistik adalah dan seharusnya selalu independen (bebas).
“Pada umumnya seorang ahli mistik terkenal sebagai
orang yang tidak mau tunduk kepada peraturan keduniawian. Dia percaya bahwa
dengan jalan mistiknya, dia dapat berhubungan langsung dengan Tuhan dan dapat
pula menerima petunjuk-petunjuk langsung dari Tuhan. Jika di dalam suatu daerah
terdapat banyak penganut aliran-aliran mistik, khususnya yang telah berubah
menjadi magi, maka besar sekali kemungkinannya bahwa para penganut ini tidak
mau tunduk pada peraturan-peraturan pemerintah.
Di dalam sejarah kerap kali terjadi pengejaran-pengejaran
terhadap ahli mistik, khususnya di luar negeri. Di Indonesia hal ini belum
terdapat, meskipun telah terjadi gejala-gejala yang membahayakan. Yaitu
misalnya pembunuhan (dengan cara pembedahan) seseorang oleh keluarganya
sendiri, karena merasa dapat perintah gaib. Dalam pada itu pemerintah telah
pula mengambil langkah-langkah penertiban. Di sini kita lihat ekses-ekses
akibat-akibat yang negatif daripada mistik yang telah berubah sifatnya menjadi
magi.”( Sosrodihardjo, 1972)
Di Masa kini masjid-masjid makin banyak didirikan,
gereja Kristen dan Katolik hampir selalu ramai di hari Sabtu dan Minggu. Namun
demikian setiap tahun masyarakat yang percaya pada kekuatan Mbok Rondo Ireng
dan Mbok Rondo Kuning masih terus mengadakan ngalap berkah. Biaya mementaskan
wayang tengul dan membeli perelngkapan sesaji adalah uang hasil iuran hampir
seluruh masyarakat setempat. Bagi yang kemudian lebih teguh belajar Islam dan
Kristen Katolik, mereka tidak datang ke acara selamatan, kalaupun datang hanya
untuk menyaksikan pementasan wayangnya saja. Atau bisa saja diam-diam di dalam
hati mereka turut berdoa dan meminta perlindungan dari sang Mbok.
Berbeda dengan kyai dan pendeta serta pastur di
sana yang melarang umatnya datang ke acara itu dan meninggalkan seluruh tradisi
yang mengakar jauh sebelum mereka datang, dukun sakti pemimpin ritual itu tidak
pernah melarang masyarakatnya untuk memeluk dan meyakini Tuhan-tuhan baru yang
datang di masa kini. Dengan terus terang sekaligus diam-diam, umat beragama itu
masih akan caos dhahar ke rumah Mbok Rondo Ireng dan Mbok Rondo Kuning sebelum
mereka menikahkan anak-anak mereka demi keselamatan selama hajat berlangsung
dan seterusnya untuk kebahagian dan kemuliaan hidup sang pengantin
3 komentar:
Thanks atas infonya, sebagai orang surabaya yang kerja di ngawi, informasi ini sangat berguna, semoga do'a mbak menjadi akpol tercapai, amin
aamiin
terimakasih bang rachman
sukses juga untuk abang
nice share..
memperkenalkan Ngawi kepada publik. Memanfaatkan media online..
good job. Ikut bangga jadi orang Ngawi
Posting Komentar